Skip to main content
x
hukum
Ridwan Mukti

Menanti Vonis Bebas Ridwan Mukti 

Vonis bebas Ridwan Mukti. Kiranya begitu harapan besar dari terdakwa kasus suap Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu non aktif. Tidak ada yang luar biasa, juga tidak bisa dianggap biasa saja atas kasus tersebut. Semua dipengaruhi sudut pandang masing-masing orang. Namun demikian, ditengah kebencian publik atas setiap kasus korupsi atau suap yang menjerat pejabat, ada hal-hal yang memang perlu mendapat perhatian secara luas dan komprehensif. 

Setiap OTT yang dilakukan KPK, maka disitu sumber berita aktual dan nyaris headline setiap surat kabar atau media. Ini adalah, meminjam istilah Fahri Hamzah "KPK ini kaya film Hollywood," (Kompas.com - 22/11/2017). OTT-nya selalu ditunggu oleh publik dan media. Tapi hal penting yang layak mendapat perhatian yakni, siapapun yang melawan KPK, menyangkal KPK, mendiskreditkan KPK, adalah kawan koruptor atau pembela koruptor. Secara politik, KPK diuntungkan. KPK seperti malaikat yang tidak pernah diberi sifat pendosa atau pemegang mandat tunggal dari tuhan  untuk Mission Sacre.

Jika KPK selalu benar, tentu itulah keinginan segenap penghuni negara ini, masalahnya adalah bagaimana jika ternyata KPK ada salah, kekeliruan dan menjadi alat penguasa untuk menggerus lawan politik penguasa. Diakui atau tidak, sepak terjang KPK beberapa tahun terakhir mendapat reaksi tidak sedap dari beberapa pihak dan politisi. Politisi memang salah satu tugasnya melaksanakan fungsi kritik dan beberapa pihak adalah kekuatan civil society yang perannya tidak boleh diabaikan oleh penyelenggara negara.

Dinegara yang demokratis, berbagai pendapat bebas mengemuka. Begitu juga merespon  massifnya OTT oleh KPK. Terbaru, muncul pendapat hukum dari pakar pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Mudzakkir,SH,MH. Dalam pendapatnya, akademisi UII itu menyebut bahwa peristiwa OTT oleh KPK harus mengacu pada KUHP. "OTT harus dilakukan secara proses normal sebagaimana diatur dalam KUHAP mengenai prosedur penangkapan," sebut Mudzakkir. 

Mudzakkir juga menyinggung soal tugas KPK dalam memberantas korupsi. “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah ....” bersifat imperatif, bukan sebagai alternatif atau pilihan diantara sebagian dari tugas lainnya. Justru politik hukum pembentukan Undang-undang KPK lebih menekankan pada kegiatan pencegahan tindak pidana korupsi, sekaligus sebagai parameter keberhasilan kinerja lembaga KPK adalah menghapus tindak pidana korupsi (tidak terjadi tindak pidana korupsi), demikian pendapatnya.

Sedangkan dalam perkara OTT; penyelidik/penyidik telah mengetahui akan adanya orang yang hendak melakukan tindak pidana dan tidak mencegahnya dan menunggu sampai dengan orang tersebut melakukan tindak pidana, dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum atau penyelidik/penyidik, adanya surat perintah, dan didahului dengan laporan atau tanpa ada laporan tapi hasil sadapan. Jadi dalam OTT (operasi tangkap tangan) berarti penyidik atau penangkap telah mengetahui orang yang hendak melakukan tindak pidana dan tidak melakukan peringatan, teguran atau perintah kepada orang yang hendak melakukan kejahatan untuk menghentikan niat jahatanya, atau tidak melakukan pencgahan tetapi justru menunggu sampai dengan orang tersebut melakukan kejahatan baru kemudian menangkapnya. Kalau ada orang yang hendak membunuh misalnya, ditunggu sampai dengan adanya orang mati terbunuh baru kemudian ditangkapnya.

Logika berfikir yang dibangun oleh Mudzakkir mungkin ada benarnya, alangkah baiknya jika KPK hadir untuk mencegah terjadinya suap atau grativikasi dan menangkap pelaku korupsi sesungguhnya yang merugikan keuangan negara juga perekonomian. Kejahatan korupsi dalam arti luas dan semakin bermodifikasi tentu membutuhkan argumentasi dan landasan hukum yang kuat, kokoh dan komprehensif tanpa abai terhadap nilai-nilai keadilan, keasasian dan kemanusiaan. 

Meminjam istilah Dr Wilson Gandhi, akademisi Unihaz, pelaku grativikasi tidak merugikan secara materi terhadap negara, untuk itu perlu kehati-hatian dalam menindaknya. Dr Wilson juga memberikan argumentasi berbeda dari JPU KPK, bahwa posisi Ridwan Mukti dengan istrinya sangat berbeda dan menurutnya Ridwan Mukti belum layak dijadikan sebagai tersangka dalam kasus OTT yang menjerat istrinya. "Dia (Ridwan Mukti) tidak tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana, berdasarkan hasil pengembangan juga tidak diakui oleh Ridwan Mukti dan saksi," sebut Dr Wilson.

Akhirnya, sambil menunggu vonis Ridwan Mukti yang dituntut 10 tahun penjara oleh JPU KPK, kita akan melihat hasil akhir dua argumentasi hukum yang berbeda landasan namun dengan tujuan sama "menegakkan keadilan". Sembari membaca sejenak adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. 

Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Tanpa bermaksud membela siapa-siapa, namun faktanya ada dua pendapat yang mengemuka atas kasus Ridwan Mukti. Setidaknya, perbedaan itu akan menjadi penambah wawasan bagi pembaca, pun jika terjadi vonis bebas, publik tidak perlu terkejut sebab sejak awal kasus tersebut memunculkan pendapat hukum berbeda sebagaimana disampaikan dalam sidang-sidang atas terdakwa Ridwan Mukti dan istrinya. 

Jikapun Ridwan Mukti divonis bersalah, itu sudah kepastian yang diharapkan dari setiap kasus hasil OTT KPK, namun jika ternyata hakim memberi vonis bebas, ini sebuah inovasi hukum dalam kasus OTT KPK. Melihat argumentasi hukum yang begitu kuat dari Dr Mudzakkar, peluang bebas Ridwan Mukti bisa saja terjadi. Dan itu menjadi vonis penantian banyak pihak, terutama masyarakat Bengkulu dan pemerhati hukum.

(tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Bengkulutoday.com, Kamis (4/1/2018)

  • Total Visitors: 6073222