Skip to main content
x
Nasional
Guspardi Gaus

Terbaru Draf RUU: Pilkada Gubernur Bengkulu Selanjutnya 2027

Wartaprima.com - Draf revisi undang-undang pemilu dan pilkada yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR 2021 mengatur tentang rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak selanjutnya, yakni pada tahun 2022 dan 2023.

Draf ini memisahkan antara Pemilihan Nasional dan Pemilihan Daerah.

Pemilihan Nasional terdiri dari Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif (DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Sedangkan Pemilihan Daerah, terdiri dari pemilihan gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota dan bupati-wakil bupati.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan di UU sebelumnya. Yang mana, pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota digelar bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD dan presiden di 2024.

Dalam draf revisi tersebut, Pilkada 2022 akan diikuti oleh daerah yang menggelar pilkada pada 2017. Sedangkan daerah yang melaksanakan Pilkada 2018, akan menggelar pemilihan pada 2023. Daerah yang baru melaksanakan Pilkada 2020, baru akan menggelar pemilihan pada 2027 mendatang. 

Bagi kepala daerah yang selesai masa jabatannya sebelum 2027, maka Kemendagri akan mengangkat penjabat kepala daerah dengan masa jabatan hingga 2027. Lalu diganti dengan kepala daerah hasil Pemilu Daerah 2027. Termasuk Bengkulu, jika Draf RUU ini disepakati, maka Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu baru akan digelar pada tahun 2027 nanti, juga daerah lain di Bengkulu yang menggelar pilkada pada tahun 2020.

Sementara pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Tengah, akan digelar pada tahun 2022 nanti karena Pilkada Bengkulu Tengah sebelumnya digelar pada tahun 2017 lalu. Dan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bengkulu akan digelar pada 2023 karena Pilwakot sebelumnya digelar pada tahun 2018.

Draf tersebut juga menjelaskan, bahwa Pilkada 2027 disebut dengan Pemilu Daerah. Seluruh kabupaten, kota, maupun provinsi, menggelar pemilihan kepala daerah serentak di tahun 2027 tersebut.

Pasal 734 Ayat (1) menjelaskan, Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027 dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah di 34 provinsi, 98 kota dan 416 kabupaten dilaksanakan di waktu yang bersamaan.

Namun dalam draf revisi Undang-undang (UU) tentang Pemilu mengatur bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2022, pilkada bisa ditunda bila terjadi bencana alam dan nonalam. Mewabahnya pandemi virus Corona termasuk dalam kategori bencana nonalam.

"Dalam hal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 731 tidak dapat dilaksanakan karena bencana nonalam, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditunda dan dijadwalkan kembali setelah bencana nonalam berakhir," bunyi pasal 732 draf revisi UU Pemilu.

Sementara itu Pasal 732 Ayat (2), penetapan jadwal pelaksanaan Pilkada yang tertunda nantinya akan ditentukan oleh keputusan KPU. Penentuan jadwal itu dilakukan setelah KPU melakukan konsultasi dengan DPR, pemerintah, Bawaslu dan DKPP.

Namun menurut Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus menilai Undang-Undang (UU) kepemiluan yang ada saat ini perlu dipertahankan sebagai landasan untuk penyelenggaraan pilpres, pileg dan pilkada ke depan. Karena ke tiga UU existing tersebut masih sangat relevan dijadikan sebagai dasar pelaksanaan kepemiluan kedepan.

Terlebih lagi berbagai elemen masyarakat, termasuk parpol non parlemen, ingin bagaimana agar negara punya tradisi, tidak setiap berganti periodisasi DPR, berganti juga UU-nya. "Gonta-ganti UU kurang pas juga," ungkap Guspardi dalam rilisnya, Sabtu (23/1/2021).  

Menurut politisi Fraksi PAN ini, jika UU pemilu kerap gonta-ganti dan direvisi, disamping membuang energi juga menimbulkan kesan adanya kepentingan politik sesaat yang terselib terutama dari partai-partai besar yang berkuasa.

Disamping itu, Anggota Baleg DPR RI ini mengajak untuk menghargai kerja keras para anggota DPR periode yang lalu yang telah merumuskan dan menghasilkan ketiga UU "kepemiluan" yaitu UU 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Tentunya para Anggota Legislatif periode lalu berharap ketiga UU tersebut sesuai dengan komitmen, obsesi, harapan dan keinginannya bisa diberlakukan pada beberapa periode, setidaknya 3 sampai 4 kali penyelenggaran kepemiluan.

Banyak hal yang sangat fundamental dijadikan alasan agar RUU Pemilu ini ditunda atau dibatalkan untuk dibahas. Setelah dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif,  terutama menyangkut kasus pandemi Covid-19 yang makin mengganas. Dengan pandemi yang makin meningkat, artinya gerak ekonomi masyarakat juga dibatasi. Ada protokol ketat. Tak boleh berkerumun, jaga jarak, cuci tangan.

Kebijakan pembatasan pegawai swasta dan pemerintah 25 persen hadir fisik dan 75 persen bekerja dari rumah (WFH), bahkan jam operasional beberapa sektor usaha juga dibatasi. Imbasnya roda ekonomi melambat yang membuat kondisi perekonomian kian terpuruk. Bahkan bisa lebih parah daripada Krismon 1998 yang saat itu tak dilarang beraktivitas.

Menurut Guspardi dengan semakin terpuruknya ekonomi, maka lebih relevan bila saat ini fokus nasional adalah mengatasi permasalahan ekonomi. 

Sumber: Cnnindonesia.com, Surya.co.id, Dpr.go.id

  • Total Visitors: 6055880