Skip to main content
x
Nasional
Arteria Dahlan

RDPU DPR RI, Sebut Bawaslu Daerah Seharusnya Dibubarkan

Wartaprima.com - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Arteria Dahlan, mengatakan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebaiknya dibubarkan, jika Pilkada ingin digelar seserentak-serentaknya.

"Saya bilang, Bawaslu (daerah, red) ini seharusnya dibubarkan. Karena kepentingannya kan cuma untuk satu kali per lima tahun, buat apa dia permanen? Untuk Bawaslu pusat nggak apa-apalah dia sebagai pengawas," kata Arteria dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) tentang revisi Undang-Undang Pemilu di Gedung Nusantara I Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2021), dikutip dari Goriau.com.

Merujuk pada sejarah kepemiliuan tahun 2015, tutur Arteria, posisi Bawaslu memang bukan badan tetap/permanen, melainkan Badan ad hoc atau sementara. "Untuk mem-simplify, hanya KPU yang tetap, sedangkan mereka ad hoc,".

"Itu pun, KPU kami beri tugas untuk melakukan verivali (verifikasi dan validasi) terkait dengan pendataan jumlah pemilih yang sah untuk memilih. (Selama, red) 5 tahun, itu tambahan tugasnya itu (bagi KPU, red)," kata Arteria.

Dalam kesempatan tersebut, Arteria juga menyoroti persoalan rekrutmen anggota Bawaslu. Sejauh ini, rekrutmen telah menggunakan Panitia Seleksi (Pansel).

"Saya kasih contoh persoalan di Lampung. Bagaimana Bawaslu menerima permohonan di luar kewenangannya, di luar batas, memeriksa secara ugal-ugalan, pertimbangan fakta hukum dengan saksinya beda, dan memutus secara brutal. Dan saya pikir, mudah-mudahan ini menjadi pertimbangan semua partai, Bawaslu ini kewenangannya harus kita pangkas," pungkas Arteria.

Sedangkan Politisi Fraksi PKS, Bukhori, menyoroti karakter masyarakat yang merupakan peserta Pemilu masih belum dapat berpikir dengan jernih. Beberapa masih mudah terprovokasi dengan uang dan iming-iming calon kepala daerah atau wakil rakyat. Sehingga menurut Anggota Komisi VIII DPR RI itu, UU yang mengatur Pemilu nantinya harus dapat mengatasi problem tersebut.

“Kami dorong Pemilu yang dapat menghadirkan demokrasi yang substantif. Bahwa Pemilu tidak hanya berdasarkan kekuasaan dan uang, jangan sampai itu jadi panglimanya. Pemilu yang bersih dan murah, itu yang harus dipikirkan bagaimana mencapainya,” sebut Bukhori.

Terkait adanya politik uang juga menjadi sorotan Anggota Baleg DPR RI Nurul Arifin. “Soalnya sistem pemilu (proporsional) terbuka menghasilkan defisit dalam demokrasi, tak jarang suara yang diperoleh berasal dari modal yang tinggi. Pada akhirnya ada kapitalisasi suara dalam pemilihan,” ungkap Nurul.

Selain itu, Anggota Komisi I DPR RI tersebut juga menyuarakan dukungannya untuk memperkuat afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen dalam RUU Pemilu. “Kuota 30 persen (keterwakilan perempuan) harus dijaga. Insya Allah di partai akan setuju, sebab harus diakui dalam politik bahwa tidak ada demokrasi tanpa kehadiran perempuan,” tegasnya.

Adapun politisi Partai Golkar itu turut menyoroti peran penyelenggara dan pengawas Pemilu. Terkait Bawaslu misalnya, ia menilai keberadaan lembaga tersebut over power. Sering kali di beberapa kasus di tingkat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lembaga itu membatalkan pencalonan bahkan pemenangan calon kepala daerah.

Sementara itu, mengutip dari Alenia.id, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan desain sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia amat buruk karena tidak memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Dia menyebut terdapat tiga desain yang harus koheren dalam sistem pemilu. Pertama, desain sistem penjadwalan pemilu. Kedua, desain kelembagaan penyelenggara pemilu. Ketiga, desain sistem keadilan atau penegakan pemilu.

Dia menyebut, desain sistem pemilu serentak pada 2024 yang di dalamnya terdapat pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak memiliki keterkaitan dengan sistem kelembagaan penyelenggara pemilu.

"Kita juga punya desain pilkada serentak nasional. Tetapi, ternyata desain sistem pemilunya meninggalkan desain kelembagaan penyelenggara pemilu," ujar dia.

Kendati demikian, Titi menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu di tingkat kabupaten atau kota perlu dibubarkan. Tujuannya, untuk menciptakan desain sistem kepemiluan yang saling terkait. Selain itu, keberadaan dua lembaga tersebut juga dianggap tidak efektif.

"KPU dan Bawaslu Kabupaten atau Kota harus dibubarkan karena tidak koheren. Kerjanya 5 tahun sekali, tahapannya 2 tahun kok permanen? apakah kemudian Bu Sri Mulyani mau investasi segitu besar buat demokrasi kita?" kata Titi.

Menurut hemat Titi, langkah yang harus dipersiapkan untuk menghadapi pesta demokrasi 2024 yakni merumuskan jadwal pemilu, dan merekrut para penyelenggara. "Sehingga, ada koherensi antara tiga aspek tadi, sistem, kelembagaan, dan keadilan pemilu," ujar dia.

  • Total Visitors: 6056905