Refleksi Pengamat Politik Pada Pilkada Serentak
Pada 27 November 2024, rakyat Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pertama yang mencakup 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi. Pesta demokrasi ini diharapkan melahirkan 541 wajah pemimpin baru yang berasal dari rakyat.
Sebagian besar calon yang menang berdasarkan hasil quick count membuka pidato kemenangan dengan kalimat seperti, “Alhamdulillah. Saya bersyukur, hasil ini adalah bentuk kepercayaan masyarakat kepada kita.” Namun, pernyataan ini terasa paradoks dengan realitas budaya politik di Indonesia, di mana uang cenderung menjadi kratos (penguasa), menggantikan demos (masyarakat).
Desertasi Burhanuddin Muhtadi (2019) mengungkapkan bahwa tingkat politik uang di Indonesia mencapai 33%, dua kali lipat rata-rata global, dan menempatkan Indonesia di peringkat ketiga praktik politik uang tertinggi di dunia setelah Benin dan Uganda. Dengan tren ini, tidak menutup kemungkinan Indonesia naik ke peringkat pertama dalam waktu dekat.
Uang dan politik perebutan kekuasaan memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena untuk duduk menempati jabatan legislatif maupun eksekutif membutuhkan anggaran besar untuk memenangkan perebutan kursi jabatan publik dalam kontestasi pemilu yang berlangsung. Persoalan-persoalan yang dihadapi calon tersebut adalah bagaimana melipatgandakan dana kampanye yang harus dikeluarkan para kandidat.
Dana ini tidak hanya dialokasikan untuk kegiatan kampanye konvensional seperti memasang spanduk, baliho, dan poster, atau menghadiri berbagai pertemuan dan acara dengan masyarakat, tetapi juga digunakan untuk membiayai penampilan calon di media massa, khususnya media arus utama seperti televisi dan surat kabar, yang sering kali membutuhkan biaya yang sangat besar. Bahkan, sebagian dana tersebut juga dialihkan untuk praktik yang lebih kontroversial, yaitu pembelian suara masyarakat secara langsung, baik melalui pemberian uang tunai maupun iming-iming bantuan materi lainnya.
Fenomena politik uang semacam ini, meskipun sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat dan elite politik, memberikan dampak yang sangat serius bagi kelangsungan demokrasi. Tidak hanya mencederai prinsip-prinsip dasar demokrasi dengan merusak proses pemilu yang adil dan bebas, praktik ini juga membuka peluang yang lebih besar bagi perilaku koruptif di kemudian hari, terutama ketika kandidat terpilih merasa perlu mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan selama masa kampanye.
Menurut mantan Wakil ketua KPK, Alexander Marwata untuk menjadi Kepala Daerah maupun Legislator, menjadi potensi terjadinya korupsi. Untuk menjadi Legislator dan Kepala Daerah membutuhkan biaya miliaran rupiah. Oleh karena itu, dana yang disiapkan untuk menjadi kepala daerah setingkat Bupati atau Walikota sebesar 20-30 milyar, dan naik satu tingkat di atasnya menjadi Gubernur membutuhkan anggaran lebih dari 100 milyar.
Urgensi Transparansi Keuangan Politik
Salah satu langkah yang perlu diambil adalah memperbaiki transparansi keuangan politik. Menurut IDEA (2019), transparansi ini melibatkan keterbukaan informasi tentang penggalangan dan pengeluaran dana politik, termasuk sumber dana dan penggunaannya. Tujuan utama transparansi adalah mencegah pengeluaran berlebihan, menciptakan kesetaraan antar kandidat, dan menghilangkan dana ilegal dari politik.
Namun, di Indonesia, penerapan transparansi ini masih menjadi tantangan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2014) mengungkapkan bahwa mayoritas partai politik tidak memberikan laporan keuangan yang sesuai standar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan, asal-usul sumbangan sering kali tidak jelas. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pun tidak membatasi jumlah sumbangan politik, membuka celah bagi praktik yang tidak transparan.
Hambatan dan Harapan
Tentu saja, penerapan transparansi keuangan politik bukan hal mudah. Upaya ini akan menghadapi resistensi dari elit politik dan oligarki yang merasa terancam oleh pengawasan ketat. Prinsip transparansi tidak hanya mengungkap sumber dana ilegal, tetapi juga mengurangi kendali mereka atas kompetisi politik.
Namun, perubahan tetap memungkinkan. Terpilihnya presiden dan pemimpin daerah baru diharapkan membawa angin segar untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Salah satu prioritas dalam Asta Cita Presiden Prabowo adalah memperkokoh ideologi Pancasila dan demokrasi.
Mengacu pada teori McShane & Glinow (2010) bahwa Pemimpin memiliki peran sentral sebagai aktor kunci dalam mengarahkan jalannya sebuah organisasi agar dapat berfungsi secara optimal dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, salah satu pendekatan terbaik untuk memotivasi pekerja atau anggota organisasi adalah dengan meningkatkan kinerja pemimpin itu sendiri. Hal ini mencakup kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif dan adaptif, yang tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan organisasi secara keseluruhan, tetapi juga selaras dengan budaya kerja, preferensi individu, dan aspirasi para bawahan. Kepemimpinan yang efektif mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, membangun kepercayaan, dan mendorong kolaborasi, sehingga menghasilkan kinerja organisasi yang lebih baik.
Jika prinsip ini diterapkan dalam konteks Indonesia maka presiden, Gubernur, dan Bupati menjadi sosok sentral yang berfungsi sebagai tolok ukur utama efektivitas pemerintahan.
Kepemimpinan seorang presiden memiliki dampak langsung pada kinerja parlemen, kementerian begitupun dengan turunan jabatan kebawah. Presiden yang memiliki visi yang jelas, kemampuan komunikasi yang baik, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel dapat menginspirasi dan memobilisasi semua elemen pemerintahan untuk bekerja secara sinergis.
Dengan demikian, kepemimpinan bukan hanya menentukan arah kebijakan nasional, tetapi juga memengaruhi sejauh mana lembaga-lembaga di bawahnya dapat berfungsi secara efisien dan produktif demi kepentingan rakyat.
Meskipun tantangan dalam mewujudkan transparansi keuangan politik di Indonesia sangat besar, harapan untuk menciptakan sistem politik yang lebih baik masih tetap menyala. Masalah yang kompleks, mulai dari praktik politik uang yang sudah mengakar hingga pengaruh besar para oligarki, memang tidak mudah diatasi. Namun, dengan komitmen bersama untuk melakukan reformasi yang mendasar pada sistem keuangan politik, jalan menuju demokrasi yang bersih dan berintegritas dapat diraih.
Reformasi ini harus mencakup penerapan aturan yang lebih ketat, mekanisme pengawasan yang efektif, serta pemberian sanksi tegas bagi pelanggaran, yang semuanya harus didukung oleh kepemimpinan yang visioner dan berani mengambil langkah nyata.
Dalam konteks ini, Pilkada serentak 2024 dapat menjadi titik tolak untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan berkualitas. Momentum ini seharusnya tidak hanya menjadi perayaan politik biasa, tetapi juga menjadi langkah awal untuk memperbaiki sistem politik secara keseluruhan, di mana suara rakyat benar-benar menjadi penentu utama dalam menentukan pemimpin yang berintegritas. Dengan dukungan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya transparansi, serta pemimpin yang memiliki komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, harapan untuk membangun Indonesia yang lebih baik dapat diwujudkan secara bertahap. Pilkada serentak ini, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi simbol kebangkitan demokrasi yang lebih adil, bersih, dan mampu mencerminkan kehendak rakyat secara nyata.
Fahri Badina Nur
Pengamat Politik
Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)